Skip to main content

Pengaruh Musik Grunge & Pengaruh Generasi X Terhadap Kaum Muda Indonesia


         Anda mungkin sudah menonton film dokumenter Soaked Bleach yang diproduseri oleh Donnie Eichar dan Benjamin Statler atau mungkin film dokumenter Montage of Heck dan Documentary Hype soal Grunge. Jika anda akrab dengan film dan nama-nama orang tersebut, maka anda pernah atau setidaknya mengetahui apa yang pernah terjadi pada era 90an. Era 90an menjadi sebuah era dimana sebuah generasi telah berhasil menciptakan suatu revolusi sosial yang mengubah wajah generasi muda dunia. Generasi tersebut dilabeli dengan X atau nama lengkapnya ialah The Generation X. Pertanyaannya adalah bagaimana generasi ini bisa muncul dan menimbulkan revolusi sosial di dunia ? Jack Endino dalam film dokumenter Hype soal Grunge pernah menyebutkan bahwa band-band Seattle sangat konsisten dalam menjaga penampilan panggungnya, semenjak tujuan utama mereka tidak lagi menjadi penghibur – tetapi lebih sederhana lagi – untuk nge-rock habis-habisan. Inilah yang membuat Grunge menarik untuk kita kaji.

Grunge dan Generation X
Perlawanan melalui musik bukan barang baru, bahkan definisi seni (art) sendiri tidak lepas dari upaya untuk memberontak atau melawan dari tatanan statis yang menjenuhkan sebagaimana Albert Camus sampaikan sebelum ia mampus. (JC “Potpuri”)
Yoyo Sukaryono, seorang gitaris dari band Klepto Opera mendefinisikan bahwa munculnya generasi X tidak bisa dipisahkan dengan munculnya Grunge sebagai aliran musik. Grunge sendiri merupakan aliran musik yang muncul sebagai bentuk perlawanan terhadap kejenuhan musik Glam Rock yang sebelumnya merajai tangga musik dunia. Menurut Yoyo, Grunge sendiri hampir tidak bisa didefinisikan namun jika kita merasakannya maka kita akan mengetahui bahwa musik tersebut Grunge. Jimmy Mahardhika – salah satu gitaris band Noise asal Yogyakarta – sendiri mengungkapkan bahwa Grunge sebenarnya tidak hanya merupakan sebuah aliran musik, melainkan sebuah komunitas dan generasi sosial karena Grunge bisa menghasilkan unsur psikologis bahkan religius bagi yang mendengarnya. Akibat unsur psikologis yang diciptakan oleh musik tersebut akhirnya menghasilkan trend gaya hidup yang dinikmati oleh satu generasi.
Hal yang diungkapkan Jimmy tersebut berkaitan dengan pernyataan Yoyo yang mengungkapkan bahwa:
hal yang menarik untuk diketahui kemudian, bahwasanya komunitas grunge tidak hanya beranggotakan orang-orang yang mencintai musik dan band-band asal Seattle tersebut, tapi berisikan orang-orang yang sebagian besar terikat oleh benang merah yang tak nampak, mereka terhubung oleh keadaan terasingkan dari hubungan sosial, yang tersisihkan, berasal dari hubungan keluarga kurang harmonis, orang-orang kalah dan kurang mendapat pengakuan atas eksistensinya dalam pergaulan sebaya maupun lingkungan dewasa. Orang-orang dengan latar belakang lingkungan sosial dan psikologi seperti demikianlah, yang akhirnya berkumpul, bersatu, membentuk komunitas, dan menjalin hubungan erat antar komunitas yang tersebar di hampir seluruh kota di Indonesia.”
Jika kita mengambil intisari dari pernyataan Yoyo tersebut, kita dapat simpulkan bahwa Grunge menghasilkan satu generasi yang mempunyai unsur psikologis (bahkan religi) yang sama. Para ahli musik termasuk Steve Albini dan Bruce Pavitt menyebut generasi yang terpengaruh Grunge tersebut dengan nama The Generation X atau generasi X. Nama generasi X tersebut diadopsi dan dipopulerkan oleh seorang novelis bernama Douglas Coupland yang menulis novel Generation X: Tales From an Accelerated Culture.

Akar Historis Grunge dan Generasi X
Mark Arm adalah seorang gitaris band Green River dan Mudhoney menjadi yang pertama memainkan musik Grunge di Seattle. Pada tahun 1985, Green River mengeluarkan EP pertamanya yang bejudul Come on Down. EP tersebut menjadi album Pure Grunge pertama di dunia menurut Majalah Rolling Stone. Tetapi sebenarnya sejarah Grunge sendiri hampir tidak bisa didefinisikan. Banyak versi yang mengungkapkan tentang bagaimana Grunge dan Generasi X tersebut muncul. Sedangkan, Mark Arm sendiri yang menelurkan EP Pure Grunge pertama bukanlah The Godfather of Grunge walaupun ia menjadi pioneer pergerakan musik Pure Grunge pertama di Seattle.
Mark Arm sendiri menjadi orang pertama yang menyebut aliran musik yang ia mainkan sebagai Grunge ketika ia menulis surat dengan memakai nama Mark McLaughin untuk sebuah majalah Seattle Desperate Times, mengkritik band Mr. Epp and The Calculations sebagai Pure Grunge! Pure Noise! Pure Shit!. Kemudian Clark Humphrey, editor majalah Desperate Times memakai istilah grunge tersebut untuk menyebut jenis musik band-band dari Seattle. Dan Bruce Pavitt dari Sub Pop mempopulerkan nama aliran musik Grunge dan sebagai sebuah label musik pada tahun 1987-1988, dengan mengkaitkan langsung pada Green River. Setidaknya akar historis Grunge tersebutlah yang paling diakui oleh para kritikus musik sebagai akar historis Grunge yang valid.
Generasi X sendiri menjadi generasi yang muncul bersamaan dengan munculnya musik Grunge. Menurut Douglas Coupland, generasi X adalah sekumpulan kaum muda yang menurut kategori demografisnya dilahirkan antara 1968-1977 saat generasi Baby Boomers percaya bahwa perang bisa dihentikan dengan bunga dan cinta. Generasi X adalah generasi yang benar-benar jenuh dengan idealisme Baby Boomers yang pada akhirnya akan gagal. Douglas Coupland juga memperkirakan bahwa generasi X muncul disaat Ronald Reagen meneriakkan Star Wars dan disaat ekonomi mengalami krisis akibat kebijakan pro-pasar radikal sedangkan demokrasi emansipatif makin jauh dari kenyataan dengan semakin terkonsolidasinya sistem dua partai di Amerika Serikat.
Karena keadaan tersebut lah, generasi X terlahir apatis dan banyak dari mereka menjadi slackers yang menghabiskan waktu berjam-jam di depan televisi atau bermain video game. Jeff Gordinier menjelaskan bahwa para slackers inilah yang pada akhirnya menyelamatkan budaya pop Amerika Serikat yang berpuncak pada coup yang dilakukan oleh Kurt Cobain dengan Nevermindnya. Semenjak Kurt Cobain berhasil membawa lagu Smells Like Teen Spirit (yang merupakan salah satu lagu terbaik dari aliran musik Grunge) ke tangga no.1 Billboard 200, generasi X menjadi ikon perlawanan terhadap gerakan kedamaian yang dibawa oleh baby boomers. Mereka jugalah yang terakhir membawa pemberontakan tersebut ke arah yang lebih mainstream dengan keinginan untuk tidak mendapatkan apa-apa atas hasil perjuangan mereka.

Nevermind, Kurt Cobain dan Nirvana
“Saya pikir Nirvana datang saat itu dengan musik yang sederhana, videoklip yang sederhana, kemasan kover kaset yang sederhana..tapi entah kenapa ada semacam energi yang terpompa dari uraian kesederhanaan itu..Nirvana memberi ambience yang berbeda soal ekspresi musik..energi liar..dan ia meresonansi dan mentranformasi emosi menjadi kesadaran bahwa memang revolusi musik waktu itu sedang terjadi ! dan euforia itu pun berlangsung.. Grunge menjadi fenomenal dan keniscayaan untuk kaum muda saat itu..Jakarta, Bandung, Surabaya dan kota-kota lain memiliki scene grunge-nya masing-masing.”
(Yoyo Sukaryono, Buku Grunge Indonesia)
Jika anda pernah menonton film dokumenter Montage of Heck maka anda termasuk yang banyak mengetahui soal Kurt Cobain. Tetapi banyak kritikus Grunge yang tidak menyetujui setting cerita dalam film tersebut dikarenakan banyak hal yang tertutupi. Mereka berkomentar bahwa Courtney Love – sebagai istri dari Kurt Cobain – banyak menutupi soal kasus bunuh diri Kurt Cobain. Namun hal tersebut tidak mengurangi autentikasi film Montage of Heck karena memang film tersebut banyak mengulas kehidupan Kurt Cobain sebagai seorang pionir atas mainstreamnya Grunge dan generasi X.
Kurt Cobain – lahir di Aberdeen pada 20 April 1967 – merupakan gitaris dan vokalis dari band Nirvana yang berhasil membawa Grunge ke arah mainstream lewat lagunya yang berjudul Smells Like Teen Spirit dan albumnya yang bernama Nevermind yang berhasil terjual 30 juta copy hingga kini. Kurt Cobain muncul sebagai representasi dari generasi X karena mempunyai ciri-ciri sejati dari generasi X. Bahkan Kurt Cobain pernah hampir dinobatkan menjadi juru bicara dari generasi yang melawan tetapi Kurt menolaknya dengan alasan ia tidak mempunyai hak apa-apa untuk berbicara.
Musik Nirvana sendiri mempunyai ciri khasnya tersendiri karena mereka sanggup menciptakan musik yang bermakna dalam. Lagu Nirvana tersebut menjadi suara perlawanan dari generasi X. Hal ini diakui oleh banyak fans dari Nirvana itu sendiri. Namun, Nirvana tidak semerta-merta menjadi corong perlawanan terhadap struktur kekuasaan yang ada. Namun, karena banyaknya jenis kekuasaan yang membuat generasi muda menjadi slacker, maka Nirvana menjadi corong perlawanan yang bersifat sangat efektif. Bahkan di Indonesia sendiri, lagu Nirvana dan seluruh penggiat aliran musik Grunge banyak mempengaruhi perlawanan terhadap pemerintahan Orde Baru. Walaupun banyak yang menyatakan bahwa perlawanan terhadap Orde Baru (jika kita mengambil dari perspektif musik) muncul ketika Metallica melakukan konser di Stadion Gelora Bung Karno tahun 1994. Saat itu, menurut Arian 13 – vokalis dari band Seringai mengungkapkan bahwa banyak terjadi kerusuhan di luar Stadion karena kurangnya tiket yang disediakan panitia. Jika kita melirik ciri-ciri generasi X dari novel Douglas Coupland, maka kita akan mendapati bahwa generasi yang melakukan kerusuhan tersebut bisa dikategorikan sebagai generasi X.
Sangat jelas bahwa Kurt Cobain mempunyai pengaruh yang sangat signifikan terhadap perkembangan musik Grunge dan generasi X itu sendiri karena kebanyakan para pemuda yang merasakan bagaimana menjadi generasi X mempunyai budaya dan trend yang memang dipopulerkan oleh Kurt Cobain serta pada umumnya oleh para pemusik Seattle. Kita bisa mengatakan bahwa generasi X mempunyai budaya sendiri yang terbentuk ketika Grunge dan Kurt Cobain berhasil mempopulerkannya. Misalnya, budaya berpakaian ala generasi X mencerminkan sikap yang tidak hedonisme, apatis, dan apa adanya. Jika kita melihat cara berpakaian Kurt Cobain, kita bisa menebak bahwa Kurt memiliki gaya berpakaian yang sama yaitu selalu memakai flanel dan terkadang celana yang robek di bagian tempurung lutut. Itulah mengapa budaya berpakaian flanel menjadi trend di era 90an (bahkan termasuk trend di Indonesia setelah dipopulerkan oleh Plastik dan para dedengkot Grunge awal di Indonesia).

Pengaruh Grunge dan Generasi X di Indonesia
Video musik Smells Like Teen Spirit pada mulanya ditayangkan oleh acara MTV yang bernama 120 Minutes pada tahun 1992. Video musik tersebut menyedot perhatian dunia yang sudah mulai jenuh dengan perilaku baby boomers yang semakin lama semakin menunjukkan keruntuhannya. Taufiq Rahman, seorang penulis dari The Jakarta Beat menulis bahwa:
“Namun sama seperti Generasi X di Amerika Serikat, generasi Orde Baru akhir juga telah berhasil menyelamatkan budaya pop pribumi untuk tidak menjadi lebih buruk. Era 1990-an dengan musik derivasi grunge dan brit pop, skena musik Indonesia menjadi yang paling menarik selama sejarah musik modern Indonesia dengan kemunculan Netral, Pure Saturday, Naif dan musik-musik bermutu yang bahkan bisa ditemukan di mainstream seperti Dewa 19, Slank dan ya...Nugie. Ini bisa dihasilkan hanya beberapa saat setelah Indonesia heboh dengan lagu-lagu cengeng Nia Daniati dan beat-beat palsu Singkong dan Keju.”
Hal tersebut menggambarkan euphoria yang sama antara Amerika Serikat dengan Indonesia. Di Indonesia sendiri, masa perpolitikan Orde Baru dan krisis ekonomi di penghujung dekade 90an akhirnya membantu lahirnya generasi X. Smells Like Teep Spirit yang juga mempunyai spirit budaya massa menciptakan euphoria generasi X secara serentak di Indonesia. Orang-orang pada masa itu mulai banyak meniru berpakaian flannel, berambut gondrong kusut, bersepatu converse, meniru suara Kurt Cobain, dan bermain musik asal-asalan. Yoyo mengatakan bahwa peniruan secara membabi buta tersebut akhirnya sangat disayangkan karena beberapa dari mereka akhirnya secara membabi buta pula meniru aksi perusakan alat musik di panggung ketika acara berlangsung.
Kurt Cobain sendiri sempat menulis lagu yang mengkritik fans Nirvana yang meniru mereka secara membabi buta yaitu In Bloom yang petikan liriknya adalah sebagai berikut:
“He’s the one who like, our pretty songs, and he, like to sing a long, and he, like to shoot his gun, but he, know not what it means ...”

Beberapa band Indonesia meniru Nirvana secara mentah sehingga terlihat sangat imitasi. Yang lainnya seperti Toiletsounds dari Jakarta dan Libido dari Surabaya bahkan dengan sengaja dan bangga dapat meniru Nirvana. Toiletsounds mungkin adalah dedengkot Grunge pertama setelah Plastik mengalami vacuum power sejak Slank mengambil alih tangga musik Indonesia. Di masa awal kejayaan Grunge di Indonesia, banyak dari generasi X muda Indonesia mulai meniru Nirvana secara habis-habisan sehingga Andre Eijkov berpendapat bahwa;
“..dan ngomong2 tentang gigs grunge yang kebanyakan Nirvanaisme di Jakarta tempo dulu … aslinya gak cuman di Jakarta aja sih, karena toh di tempat tempat laen juga banyak … toh anak2 grunge waktu itu [mid dan akhir dekade 90an] belom bisa lepas dari bayangan superheronya mereka si Kurt Cobain … entah kalo sekarang … ketika ngomong kerusuhan di gigs grunge, ya gua yakin anak2 grunge waktu itu, juga punya energi kemarahan dan tendensi eksistensialisme yang sama besar kayak yang dipunyai si Cobain, entah kalo sekarang, kalo masih kayak gitu ya goblok aja, beli gitar sama ampli aja susah pake sok dibanting banting … kenapa gak bunuh diri sekalian … ngikutin si Cobain biar jadi keren … taon 2000an gue pernah nyindir anak2 grunge yang Nirvanaisme, gue bikin poster sablonan gambarnya Cobain dikasih teks “i hate myself but i am not brave enough to die” hasilnya gue digebukin pake kursi lipat sama seorang pentolan scene grunge ampe bonyok … cuman untungnya beberapa orang anak2 grunge lama yang gue kenal, sekarang udah bisa mandang hidup lebih realistislah … bukan lagi pengikut trendsetter underground, apalagi sampe fanatis secara fatal …
disini gua gak maksud ngomong scene grunge itu kancut ato apa, karena kalo kancut ya tiap scene mo itu punk, HC, pop, ato apa aja, itu emang punya hal-hal busuk … cuman ya memandang sebuah scene semisal grunge [apalagi menghidupinya] kalo gua bilang gak bisa dengan sesederhana itu sih …”
dan Dede dari Noise!, Band Grunge asal Palembang menambahkan dengan nada sinis:
“Sory mas kalau jawabannya agak sinis, dan ternyata grunge emang benar jadi komunitas yang pecundang ( bukan berarti saya membenci ), itu yang saya lihat saat ini alur hidup nya gitu-gitu aja monoton di Palembang grunge sudah binasa anak-anak tau nya cuma Nirvana yang lain nggak tau.”
Kedua kutipan tersebut jelas menggambarkan bagaimana warna musik Grunge yang Nirvanaisme akhirnya menciptakan generasi X Indonesia yang bahkan mengimitasi secara lengkap bagaimana Kurt Cobain itu hidup. Selain bercorak Nirvanaisme, generasi X di Indonesia – yang sangat dipengaruhi oleh Grunge juga memaknai musik Grunge sebagai ajang pemberontakan kaum muda. Ibeng, seorang gitaris band Grunge, Slip Tongue menjelaskan bahwa:
“Gw melihatnya sebagai musik yang mewakili perasaan, buat gw pribadi lebih ke pencurahan pikiran dan kesenengan tersendiri daripada pemberontakan dan gejolak rasa muda tentunya.. waktu itu sangat berarti artinya itu jadi soundtrax dalam segala aktivitas gw..”
Berbeda dengan corak budaya massa yang dipengaruhi aliran musik lainnya. Semenjak Orde Baru menemui kebuntuan untuk melanjutkan kekuasaannya, maka Grunge menjadi trending topic di Indonesia yang pada akhirnya akan menciptakan pemberontakan massa kaum muda dalam memaknai masa tersebut sebagai masa kebosanan terhadap budaya lama yang tidak bisa mengatasi depresi. Tetapi masa depresi ekonomi pada akhirnya dimanfaatkan kelas yang berkuasa – dalam hal ini adalah kelas pemodal – untuk mengembalikan Grunge tersebut ke arah yang mainstream setelah Kurt Cobain mengalami bunuh diri. Hal tersebut terlihat dengan maraknya penjualan celana sobek dan aksesoris Grunge lainnya yang terkesan sederhana namun menjadi bernilai jual hanya karena representatif dari budaya mainstream generasi X. Tetapi bagi para fans Grunge sejati memaknai bahwa budaya Grunge bukanlah budaya kapitalis seperti itu, melainkan budaya yang mencerminkan bahwa aku bukan kalian! Disini kita akan mendapatkan bahwa ternyata generasi X yang sejati ialah yang bersifat apatis dan memaknai eksistensialisme dalam sikap.
Ahmad Mujib yang menulis Grunge: Sebuah Jalan Hidup yang Beda untuk situs sosial Desantara.org menyebutkan bahwa:
“Berbeda dengan jenis aliran musik seperti pop ataupun dangdut yang tidak membutuhkan identitas khusus para penikmatnya, dalam aliran ini para penikmat senantiasa menggunakan identitas-identitas tertentu untuk membedakan dengan yang lainnya. Grunge senantiasa mengenakan celana jeans yang sobek-sobek, mengenakan kaos bergambar band favorit dan sweater, flannel,memiliki tatto yang tidak profesional.
Atas segala keterasingannya, komunitas grunge berusaha kuat ber”sikap gembira merayakan kontradiksi”. Mereka merayakan ke-tersisihan-nya dengan membuat ‘tanda-tanda’ bagi komunitas tersebut. Dimana ‘tanda-tanda’ tersebut seharusnya tak lebih adalah refleksi secara langsung atau kode atas pernyataan “aku bukan kalian!”

-nadiadiera-

Comments

Popular posts from this blog

Mutiara Hitam Juga Pernah Tidak Berharga: Fasisme Hilang, Muncul Kembali Rasisme

  “Saya termasuk yang merasa diri saya tidak rasis. Tapi, jujur sejujur-jujurnya, kadang terlontar juga sindiran ketika ada orang dari ras atau suku bangsa lain melakukan sesuatu yang sesuai dengan stereotipe ‘mereka’ “ – Azrul Ananda   Hakikatnya harga sebuah berlian dinilai dengan harga yang sangat-sangat tinggi, dengan harga yang bisa mencapa puluhan hingga ratusan juta. Pernahkah tersirat di benak kalian jika “Berlian Hitam” ini pernah tidak berharga di negri orang? Tentu saja kalian bingung dengan pertanyaan “Apa sih Berlian Hitam ini?”, baiklah, kita bahas si-“Berlian Hitam” ini.             Yang dimaksud dari Berlian Hitam disini adalah orang-orang yang pada dasarnya memiliki warna kulit yang lebih gelap dari kebanyakan orang-orang pada biasanya, biasanya orang-orang yang seperti ini disebut dengan orang Negro . Yang orang-orang ini adalah orang-orang yang dahulu pernah dibeda-bedakan Hak dan Martabatnya. Di Amerika, Ras ini biasanya disebut dengan Ras Afro-

PERJUANGAN MELAWAN PENGGUSURAN; Antara Penggusuran dan Kebijakan Developmentalisme

Tahun 2015 hingga tahun 2016 telah terjadi peningkatan kasus penggusuran di Indonesia. Kebanyakan penggusuran dilakukan atas nama ketertiban kota, revitalisasi sungai, hingga pembangunan infrastruktur seperti bandara dan apartemen. Penggusuran juga dilakukan dengan berbagai alasan dan biasanya alasan pemerintah dan korporasi yang paling sering muncul ialah karena warga yang bermukim di wilayah penggusuran tersebut terindikasi ilegal. Apakah atas nama administrasi, rakyat harus kehilangan aset-asetnya? Penggusuran kini menjadi sebuah senjata untuk menegakkan Neoliberalisme. Dari realitas yang ada, Jawa dan Bali memasuki era Kapitalisme tata ruang dimana antara rakyat dan korporasi berebut wilayah tata ruang. Dimulai dari kasus Pegunungan Kendeng, pembangunan Bandara Kulonprogo, Proyek kereta api cepat Jakarta-Bandung, hingga pembangunan Bandara Internasional Jawa Barat. Dampak dari pembangunan infrastruktur tersebut ternyata tidak kecil. Rakyat dan lingkungan menjadi dua entitas yang