Tahun 2015 hingga tahun 2016 telah terjadi
peningkatan kasus penggusuran di Indonesia. Kebanyakan penggusuran dilakukan
atas nama ketertiban kota, revitalisasi sungai, hingga pembangunan
infrastruktur seperti bandara dan apartemen. Penggusuran juga dilakukan dengan
berbagai alasan dan biasanya alasan pemerintah dan korporasi yang paling sering
muncul ialah karena warga yang bermukim di wilayah penggusuran tersebut
terindikasi ilegal. Apakah atas nama administrasi, rakyat harus kehilangan
aset-asetnya? Penggusuran kini menjadi sebuah senjata untuk menegakkan
Neoliberalisme.
Dari realitas yang ada, Jawa dan Bali memasuki era
Kapitalisme tata ruang dimana antara rakyat dan korporasi berebut wilayah tata
ruang. Dimulai dari kasus Pegunungan Kendeng, pembangunan Bandara Kulonprogo,
Proyek kereta api cepat Jakarta-Bandung, hingga pembangunan Bandara
Internasional Jawa Barat. Dampak dari pembangunan infrastruktur tersebut
ternyata tidak kecil. Rakyat dan lingkungan menjadi dua entitas yang paling
dirugikan dari kebijakan politik tata ruang. Dampak terbesar yang akan dialami
oleh rakyat ialah hilangnya ruang untuk hidup dan bekerja serta proletarisasi.
Konsep proletarisasi adalah suatu keniscayaan dalam masyarakat Kapitalisme
dimana rakyat pada akhirnya terpaksa menjadi buruh untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya. Kehilangan aset berupa tanah dan usaha kecil menengah menjadi
sebab-sebab mengapa pada akhirnya petani, nelayan, dan pengusaha kecil menjadi
buruh. Bahkan para pakar teknologi lingkungan mengakui terang-terangan perihal
proletarisasi. Misalnya pernyataan dari Dr. Ir. Firdaus Ali, M.Sc yang
mengatakan bahwa reklamasi Teluk Jakarta memang akan membawa kerusakan pada
lingkungan, namun sifatnya temporal. Selain itu, Firdaus Ali juga mengatakan
bahwa nelayan yang terkena dampak reklamasi akan diprioritaskan untuk beralih
profesi menjadi karyawan disana[1].
Keterangan Firdaus Ali tersebut menjadi contoh bahwa
penggusuran sejatinya membawa rakyat kepada proletarisasi. Namun pada akhirnya
proletarisasi akan membawa masalah baru, contohnya ialah masalah upah dan
pensiun yang dampaknya nanti akan sampai kepada kesejahteraan buruh. Terlepas
dari itu semua, penggusuran pada akhirnya berimplikasi kepada keberpihakan
pemerintah terhadap korporasi yang ingin mengembangkan kapitalnya dengan
meluaskan tata ruang di kota-kota. Di desa-desa, penggusuran akan menyebabkan
petani kehilangan sawah dan rumahnya sehingga sebagian besar dari mereka
nantinya terpaksa melakukan urbanisasi sebagai konsekuensi atas proletarisasi.
Maka dari itu, kita mesti mengetahui secara ringkas bagaimana pembangunan
infrastruktur bekerja dan apa pengaruhnya kepada rakyat.
Penggusuran
dan Kepentingan Korporasi
26 Juli 2016 merupakan hari yang sangat kelam bagi
ratusan warga di Jalan Stasiun Barat, Kota Bandung karena di hari itu, kios dan
tempat tinggal mereka digusur secara paksa oleh PT.KAI Daerah Operasi 2 Bandung.
Menurut Humas PT. KAI Daerah Operasi 2, Franoto Wibowo mengatakan bahwa
penggusuran ini dilakukan karena warga menempati lahan PT. KAI secara illegal[2].
Namun, dalam penelusuran kami bersama para mahasiswa yang tergabung dalam
Aliansi Solidaritas Rakyat untuk Demokrasi (SORAK) menemukan data bahwa warga
bahkan sudah menempati lahan tersebut sejak abad 19 awal. Banyak suratkabar
juga menyebutkan bahwa lahan tersebut milik PT. KAI, padahal lahan tersebut
milik negara. Pendapat ini kontras dengan pendapat para pejabat PT. KAI yang
berkata bahwa warga telah tinggal sejak 1971[3].
Rencananya PT. KAI akan menggunakan lahan yang digusur tersebut untuk pelebaran
jalan dan memperluas area parkir. Menurut Ridwan Kamil dalam twitternya
menyebutkan bahwa warga yang tergusur sudah ditempatkan di Rusunawa Rancacili dengan
‘baik’ dan ‘layak’[4].
Padahal sepanjang penelusuran SORAK ke Rusunawa Rancacili tidak menemukan
hunian layak di dalamnya. Bahkan, warga harus menyewa hunian susun tersebut per
bulan. Munculnya pendapat-pendapat yang berbeda di suratkabar nasional membuktikan
bahwa PT. KAI telah berbohong. Bahkan Komite Rakyat Korban Penggusuran Stasiun
Bandung, Pak Rosyid mengatakan bahwa PT. KAI telah salah gusur karena yang
seharusnya digusur ialah wilayah timur Stasiun Bandung.
Berbeda kasus dengan penggusuran di wilayah barat
Stasiun Bandung, dengan dalih pembangunan sebuah bandara internasional, PT.
BIJB (Bandara Internasional Jawa Barat) melakukan pengukuran lahan di
sawah-sawah milik warga Desa Sukamulya, Kecamatan Kertajati, Kabupaten
Majalengka. Sekitar pukul 08.00WIB, 17 November 2016 sekompi polisi dari Polda
Jabar datang untuk mengawal pengukuran. Karena hal tersebut, warga melakukan
reaksi dengan menduduki lahan yang akan diukur oleh PT. BIJB tersebut[5].
Desa Sukamulya yang memiliki luas 735 hektar menjadi salah satu area dari
kawasan BIJB yang totalnya 1800 hektar[6].
Sedangkan menurut Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menyebutkan bahwa kawasan
BIJB seluas 5000 hektar dan kawasan tersebut terdiri atas 11 wilayah desa di
Majalengka[7].
Menurut KPA, kasus ini pertama kali muncul tahun 2004, ketika secara sepihak 11
kepala desa menandatangani surat pernyataan yang menyatakan bahwa warga dari 11
desa tersebut mendukung pembangunan BIJB. Surat tersebut ditandatangani pada 14
Oktober 2004. Padahal realitas menyebutkan bahwa hanya ada 300 KK dari 1305 KK
dari ke 11 desa tersebut yang mendukung pembangunan BIJB, sementara mayoritas
warga desa menolak. Parahnya, dalam pembuatan AMDAL pembangunan BIJB dinyatakan
bahwa lahan Desa Sukamulya adalah lahan tandus yang hanya bisa panen sekali
dalam satu tahun dengan produksi gabah kering sebanyak 6 kwintal per hektar.
Padahal data dari Dinas Pertanian Kabupaten Majalengka tahun 2005 dan BPS
Kabupaten Majalengka menyebutkan bahwa Desa Sukamulya bisa memproduksi gabah
kering sebanyak 52, 35 kwintal per hektar[8].
Kedua
kasus tersebut memiliki kesamaan sifat, salah satunya ialah lahan dan aset
milik warga digusur untuk kepentingan pembangunan, sifat lainnya ialah bahwa
dalam kedua kasus tersebut menunjukkan bahwa warga digusur atau akan digusur
oleh korporasi. Namun, ketika korporasi menggusur lahan milik warga, pemerintah
yang seharusnya sebagai perpanjangan tangan warga malah memihak kepada
korporasi. Keberpihakan negara kepada korporasi sangat membuktikan bahwa
pemerintahan sejatinya merupakan alat bagi kaum borjuasi untuk menindas
rakyatnya. Lenin mengatakan bahwa kaum borjuasi membutuhkan negara sebagai
organ kekuasaan kelas yang dapat menciptakan tata tertib yang melegalkan dan
mengekalkan penindasan terhadap kelas tertindas dengan memoderasikan bentrokan
antar kelas.
Penggusuran
dan Developmentalisme
Pada hakikatnya, pembangunan infrastruktur dilaksanakan
oleh negara dengan maksud untuk kepentingan rakyat. Pembangunan infrastruktur
dilaksanakan sebagai konsekuensi atas kebutuhan-kebutuhan dari rakyat seperti
pembangunan stasiun kereta api dan bandara sebagai sarana untuk transportasi
massal atau bahkan pembangunan perumahan sebagai hunian untuk rakyat. Namun,
pada kenyataannya, pembangunan infrastruktur bukan lagi ditujukan untuk kepentingan
rakyat. Negara pada saat ini sebagai alat borjuasi pada akhirnya melakukan
banyak pembangunan infrastruktur untuk mendukung kegiatan para borjuasi.
Bagaimana ini bisa terjadi? Engels dalam karyanya Asal-usul Keluarga
menyebutkan bahwa dalam sebuah republik demokratis, borjuasi menggunakan
kekuasaannya secara tidak langsung tetapi justru lebih pasti, pertama
dengan jalan menyuap langsung para pejabat, dan; kedua dengan jalan
persekutuan antara pemerintah dengan bursa atau korporasi[9].
Dari keterangan tersebut kita bisa mengambil satu pernyataan bahwa dalam
pembangunan infrastruktur, borjuasi menggunakan kekuasaan negara secara tidak
langsung. Negara pada akhirnya membuat suatu undang-undang pembangunan
infrastruktur yang kesannya berpihak kepada rakyat, namun nyatanya tidak sama
sekali. Itulah mengapa Walhi menyebutkan bahwa pembangunan BIJB akan
menguntungkan developer. Direktur Eksekutif Nasional Walhi, Nur Hidayati
menyebutkan bahwa dampak pembangunan infrastruktur sangat besar, pertama,
menumpuknya utang-utang luar negeri yang nantinya akan ditanggung oleh generasi
selanjutnya; kedua, pembangunan infrastruktur nantinya akan berdampak
buruk terhadap lingkungan dan masyarakat[10].
Kebijakan pembangunan infrastruktur terkait dengan
pembangunan nasional yang digulirkan oleh negara sejak Neoliberalisme masuk ke
Indonesia pada era Soeharto. UU Penanaman Modal Asing tahun 1967 menjadi pintu
awal terbentuknya kebijakan pembangunan nasional. Kebijakan pembangunan
nasional tersebut bisa kita sebut sebagai Developmentalisme. Sebagai sebuah
teori pembangunan, Developmentalisme adalah suatu bentuk pembangunan ekonomi
untuk menghapus kemiskinan. Menurut Dawam Raharjo, Developmentarisme
digambarkan sebagai suatu kemistri ideologis antara kepentingan negara-negara industri
maju dengan kepentingan elit politik negara-negara dunia ketiga. Teori
Developmentalisme berkembang dari doktrin Four Points Program yang
dilancarkan oleh Presiden AS, Harry S. Truman pada 1949. Salah satu poin dalam Four
Points Program adalah pemulihan ekonomi akibat kerusakan Eropa dari Perang
Dunia II. Developmentalisme merupakan kelanjutan program pemulihan ekonomi
dunia ketiga. Tujuan utama Developmentalisme pada saat itu ialah untuk
membendung pengaruh Komunisme dengan menuntaskan sumber dari penyebaran
komunisme – yaitu kemiskinan[11].
Developmentalisme sebagai teori pembangunan ekonomi
dunia ketiga akhirnya menemukan kegagalannya. Dalam konteks Indonesia, sejak
Developmentalisme dilaksanakan oleh Soeharto melalui Rencana Pembangunan Lima
Tahun (Repelita), pemerintah Indonesia terpaksa meminjam modal kepada IMF dan
memberlakukan penanaman modal asing. Dalam usaha Repelita tersebut, Indonesia
hanya berhasil mencapai GNP US 1.100 dollar pada 2004. Dalam proses mencapai
nilai tersebut, Indonesia harus rela kehilangan banyak asetnya untuk dijual
kepada modal borjuasi. Tahun 1997, nilai rupiah jatuh 500% hingga ke nilai Rp
10.000/dolar. Akibat jatuhnya nilai rupiah tersebut, utang pemerintah kepada
IMF membengkak hingga 500% yang artinya sebelum krisis 6 sampai 7 tahun lalu
(sebelum 1997-1998), pemerintah meminjam 200 juta dolar dengan kurs Rp
2.000/dolar maka saat jatuh tempo mereka harus membayar 5 kali lipatnya[12].
Kebijakan Developmentalisme yang mengarah kepada pembukaan pasar Neoliberalisme
pada akhirnya mengakibatkan Indonesia jatuh dalam perangkap IMF dan kepentingan
borjuasi. Hal ini membuktikan bahwa dalam jangka panjang, Developmentalisme
dapat menghancurkan sendi-sendi kehidupan ekonomi rakyat.
Lalu apa kaitannya
Developmentalisme dengan penggusuran?
Pada dasarnya, hampir semua kasus penggusuran di
Indonesia terjadi karena adanya kepentingan Developmentalisme. Bentuk
kepentingan tersebut sangat terlihat jelas dengan adanya pembangunan
infrastruktur yang dilaksanakan oleh korporasi untuk kepentingan korporasi jua.
Contohnya dalam kasus-kasus penggusuran di DKI Jakarta pada era kepemimpinan
Ahok. Gubernur DKI Jakarta tersebut bahkan menyatakan bahwa tahun ini akan
dilakukan 325 kali penggusuran. Jumlah tersebut bahkan dua kali lipat dari
tahun sebelumnya – yaitu 2015 – dimana pemerintah DKI Jakarta telah menggusur
113 titik lokasi[13].
Alasan pemerintah menyebutkan bahwa penggusuran dilakukan untuk penertiban
kawasan liar, revitalisasi sungai, hingga penertiban Pedagang Kaki Lima atau
PKL. Alasan-alasan tersebut sebenarnya merupakan alasan semu yang dapat
menutupi dari alasan yang sebenarnya, yaitu untuk mendukung pembangunan
infrastruktur untuk kepentingan borjuasi. Kita bisa melihat bahwa pada
hakikatnya revitalisasi sungai – selain untuk mencegah banjir di wilayah
Jakarta Utara – untuk menunjang kenyamanan apartemen-apartemen yang terletak di
kawasan Pantai Teluk Jakarta. Selain itu, adanya wacana reklamasi Teluk Jakarta
juga dilakukan untuk mendukung pembangunan apartemen dan kawasan bisnis milik
Agung Podomoro Group[14].
Reklamasi tersebut pada akhirnya merugikan para nelayan. Nelayan pada akhirnya
harus rela digusur dan dipindahkan ke Rusunawa. Menteri Koordinator
Kemaritiman, Luhut Pandjaitan menyebutkan bahwa pemerintah akan menyediakan
Rusunawa bagi 12.000 nelayan. Selain ada wacana penggusuran dan pemindahan
pemukiman ke Rusunawa, nelayan juga dirugikan pendapatannya. Salah seorang
perwakilan nelayan Muara Angke, Muhammad Hisyam menyebutkan bahwa pendapatannya
sebelum reklamasi mencapai 30 kg per hari, kini telah turun hingga 15 kg per
hari[15].
Contoh kasus tersebut telah membuktikan bahwa dalam
pelaksanaannya, kebijakan Developmentalisme pada akhirnya harus mengorbankan
aset dan lahan milik rakyat untuk kepentingan borjuasi. Hal tersebut juga
menjadi kritik bagi para pegiat Developmentalisme seperti para mafia Berkeley
yang menyatakan bahwa Developmentalisme menjadi solusi terbaik untuk
menuntaskan kemiskinan di Indonesia. Namun, karena Indonesia merupakan negara
dunia ketiga yang sudah terjebak dalam sirkulasi Neoliberalisme, maka
pemerintah – mau tidak mau – sebagai agen imperialis tetap melanjutkan
kebijakan Developmentalisme hingga kini. Wacana-wacana seperti educopolis
(seperti kota Yogyakarta), waterfront city (seperti DKI Jakarta), dan ecocity
(seperti kota Bandung) adalah wacana-wacana busuk yang diselubungi
harapan-harapan indah akan ketertiban dan kenyamanan kota. Pada kenyataannya,
wacana busuk tersebut mengakibatkan rakyat miskin kota tergusur dan tersingkir
hingga ke pinggir kota. Rakyat miskin kota yang bertahan dalam rimba kota pada
akhirnya akan menjadi kaum-kaum pengangguran dan pengemis baru yang nantinya
akan dianggap mengganggu keindahan kota. Inilah konsekuensi dari
Developmentalisme!
Ayo
Lawan Penggusuran!
Penggusuran sejatinya harus dilawan! Ketika rakyat
tidak melawan, maka pemerintah dan korporasi akan semakin menjadi-jadi dan
menjadikan rakyat sebagai buruh-buruh murah yang akan melaksanakan
proyek-proyek mereka. Kalau sudah begitu, maka dampak ekonomi penggusuran
nantinya juga akan mempengaruhi kondisi psikologis dan kebudayaan. Anak-anak
yang terdampak penggusuran nantinya akan mengalami trauma sehingga akan
mengganggu kehidupan mereka. Selain itu mereka juga akan kesulitan menempuh
jarak sekolah yang sebelumnya dekat menjadi jauh. Para orang tua akan kesulitan
mencari kerja baru atau memulai usaha baru karena ketiadaan modal atau modal
hanya sedikit. Biasanya rakyat yang sudah tinggal dalam rusunawa akan kesulitan
dalam membayar uang sewa huniannya. Dalam kasus penggusuran Stasiun Bandung
misalnya, warga yang sudah tinggal di Rusunawa Rancacili digratiskan 3 bulan
uang sewa hunian. Namun pada kenyataannya, mereka tetap saja harus membayar
uang listrik dan air yang jumlah mencapai 100 ribu rupiah lebih. Sedangkan,
mereka masih belum mempunyai usaha baru karena bantuan dari pemerintah nonsens
untuk ditunggu-tunggu.
Bagaimana cara melawan
penggusuran?
Teknik perlawanan bukanlah suatu ilmu ilmiah atau
dogma yang harus diikuti, namun teknik perlawanan ialah teknik yang harus
bergerak secara dialektis dengan mengikuti pola kebudayaan dan corak produksi
rakyatnya. Jika teknik melawan diikuti secara dogmatis, bukan berarti
kesalahan-kesalahan seperti kesalahan Stalinis akan terulang lagi. Misalnya
kesalahan membangun Front Persatuan dengan borjuasi nasional, kebijakan
Stalinis yang demikian akan mengaburkan perjuangan kelas sehingga yang terjadi
ialah adanya pengkhianatan borjuasi nasional seperti yang terjadi dalam tubuh
aliansi nasional China di tahun 1927, dimana kader Partai Kuomintang (Partai
Komunis China) dibantai oleh partai yang berkuasa (yaitu Kunchantang: Partai
Nasionalis China). Dari pelajaran-pelajaran tersebut, kita seharusnya tidak
boleh lagi terjebak dalam dogma-dogma yang menyebabkan kita salah langkah.
Dalam hal ini kita juga harus memerhatikan teknik
perlawanan dalam penggusuran. Contoh kasusnya ialah penggusuran Stasiun
Bandung, dimana rakyat korban penggusuran akhirnya mengorganisir diri dan
membentuk komite perjuangan yang bernama Komite Perjuangan Rakyat Korban
Penggusuran Kebon Jeruk yang bekerjasama dengan Solidaritas Rakyat untuk
Demokrasi (SORAK) dalam perjuangan melalui jalur litigasi maupun non-litigasi.
Dalam jalur litigasi, SORAK (dalam hal ini Rumah Dialektika sebagai sebuah
komunitas kuasa hukum) mengadvokasi rakyat Kebon Jeruk yang melawan dalam
menuntut ganti rugi penggusuran kepada PT. KAI dan Pemerintah Kota Bandung. Sedangkan
dalam jalur non-litigasi, Komite Rakyat Korban Penggusuran Kebon Jeruk bersama
rakyat korban penggusuran Kebon Waru dan juga SORAK (dalam hal ini Aliansi
Mahasiswa Papua, Pembebasan, dan MarxistYouth Commune) mengorganisir diri dalam
satu barisan melawan PT. KAI dan Pemerintah Kota Bandung dengan aksi massa.
Dalam kasus-kasus lain, kita juga akan menemukan
pola yang sama, dimana warga korban penggusuran harus membentuk satu komite
perlawanan yang akan bekerja sama dengan elemen lainnya seperti mahasiswa dan
buruh membentuk satu barisan melawan kaum yang menggusur: korporat dan
pemerintah. Dalam pengorganisasian rakyat, para pengorganisir harus hidup
bersama korban penggusuran untuk melakukan pendekatan hingga bergabung bersama
rakyat dalam perjuangan merebut hak-hak hidupnya. Jo Hann Tan dan Roem
Topatimasang pernah berkata bahwa satu kunci keberhasilan proses
pengorganisasian rakyat adalah memfasilitasi mereka sampai akhirnya mereka
dapat memiliki suatu pandangan dan pemahaman bersama mengenai keadaan dan
masalah yang mereka hadapi.
Walaupun kita menjadi seorang pengorganisir rakyat,
namun tetap saja tanggung jawab perlawanan ada di rakyat. Maka dari itu,
tugas-tugas seorang pengorganisir rakyat salah satunya ialah mendorong rakyat
agar mau melawan dan mengorganisir diri. Selebihnya, dalam perjuangan merebut
aset-aset kehidupan rakyat, kita hanya berfungsi sebagai fasilitator atau
bahkan hanya sebagai pembantu perjuangan saja. Dalam kata kasarnya, kita
hanyalah sekumpulan orang yang bekerjasama dengan rakyat dalam melakukan
perjuangan melawan Developmentalisme. Dalam hal ini, rakyat korban penggusuran
harusnya sudah mengorganisir diri sebelum penggusuran tersebut terjadi.
Kesiapan-kesiapan rakyat dan pengalaman-pengalaman sejarah yang ada pada
akhirnya akan menjadi salah satu alat perjuangan juga.
Biasanya perjuangan melawan penggusuran bukanlah
suatu perjuangan yang singkat, perjuangan tersebut pastinya akan menempuh
proses yang panjang. Maka dari itu, kita harus memiliki kesabaran dan keteguhan
yang revolusioner dalam perjuangan. Disiplin kerja juga harus kita terapkan
karena hal tersebut menjadi kunci keberhasilan dalam perjuangan. Contohnya
ialah militansi rakyat Pegunungan Kendeng dalam melawan 12 pabrik semen yang
ingin mengeruk kekayaan Karst disana tetap bertahan karena adalah kesabaran dan
keteguhan yang revolusioner dan juga disiplin kerja yang mantap.
Dengan teknik-teknik yang demikian, bukan berarti
harus diikuti secara dogmatik. Namun, kita juga perlu mengawinkan gagasan
tersebut dengan realitas objektif yang tergambar di wilayah penggusuran. Kita
harus mampu berbaur dengan rakyat korban penggusuran dan dengan berarti kita
tidak boleh putus dari massa. Jika kita putus dari garis massa, maka alhasil
kita akan melakukan perjuangan yang sia-sia, dimana rakyat menjadi tidak
terorganisir dan kita tidak mengetahui bagaimana realitas yang ada dalam tubuh
rakyat. Perjuangan tersebut pada akhirnya menjadi perjuangan semu belaka.
[1] “Alasan Reklamasi Merusak Lingkungan Tak Berdasar”, dimuat dalam
Berita Satu, 10 Agustus 2016.
http://www.beritasatu.com/megapolitan/379047-alasan-reklamasi-merusak-lingkungan-tak-berdasar.html
http://www.beritasatu.com/megapolitan/379047-alasan-reklamasi-merusak-lingkungan-tak-berdasar.html
[2] “KAI Bongkar Bangunan Ilegal di Stasiun Bandung”, dimuat dalam
Republika, 27 Juli 2016.
http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/daerah/16/07/26/oawrn3330-kai-bongkar-bangunan-ilegal-di-stasiun-bandung.
http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/daerah/16/07/26/oawrn3330-kai-bongkar-bangunan-ilegal-di-stasiun-bandung.
[3] Wawancara Humas PT. KAI, Franoto Wibowo kepada wartawan Republika.
Pendapat Franoto tersebut dinilai tak berdasar karena warga mempunyai
bukti-bukti yang kuat bahwa mereka telah tinggal sejak 1946, bahkan ada warga
yang mengatakan sejak 1928 atau telah turun temurun ada disana. Data-data yang
dimliki warga untuk membuktikan hal tersebut adalah adanya PBB, KTP, dan aset
turun temurun yang telah dirusak oleh 3 alat berat yang dikerahkan PT. KAI
untuk menggusur wilayah tersebut.
[4] “17 KK Korban Penggusuran Stasiun Bandung Tinggal di Bedeng”,
dimuat dalam Liputan 6, 17 Agustus 2016.
http://regional.liputan6.com/read/2579357/17-kk-korban-penggusuran-stasiun-bandung-tinggal-di-bedeng.
http://regional.liputan6.com/read/2579357/17-kk-korban-penggusuran-stasiun-bandung-tinggal-di-bedeng.
[5] “Ribuan Warga Sukamulya Duduki Lahan Tolak Pengukuran BIJB”, dimuat
dalam Pikiran Rakyat, 17 November 2016.
http://www.pikiran-rakyat.com/jawa-barat/2016/11/17/ribuan-warga-sukamulya-duduki-lahan-tolak-pengukuran-bijb-385044
http://www.pikiran-rakyat.com/jawa-barat/2016/11/17/ribuan-warga-sukamulya-duduki-lahan-tolak-pengukuran-bijb-385044
[6] “Detik-detik Ribuan Aparat Serbu Petani Majalengka”, dimuat dalam
CNN Indonesia, 18 November 2016.
http://www.cnnindonesia.com/nasional/20161118085655-20-173482/detik-detik-ribuan-aparat-serbu-petani-majalengka/
http://www.cnnindonesia.com/nasional/20161118085655-20-173482/detik-detik-ribuan-aparat-serbu-petani-majalengka/
[7] “Warga Sukamulya Menolak Pembangunan BIJB”, dimuat dalam situs KPA.
http://www.kpa.or.id/news/blog/warga-sukamulya-menolak-pembangunan-bjib/
http://www.kpa.or.id/news/blog/warga-sukamulya-menolak-pembangunan-bjib/
[8] Ibid.
[9] Kutipan Engels yang diambil dari karya Lenin, Negara dan
Revolusi.
[10] “Walhi Sebut Pembangunan Infrastruktur Era Jokowi Mirip Soeharto”,
dimuat dalam Kompas, 20 November 2016.
http://nasional.kompas.com/read/2016/11/20/17253011/walhi.sebut.pembangunan.infrastruktur.era.jokowi.mirip.soeharto.
http://nasional.kompas.com/read/2016/11/20/17253011/walhi.sebut.pembangunan.infrastruktur.era.jokowi.mirip.soeharto.
[11] “Developmentalisme”, oleh Dawam Raharjo. Dimuat dalam Infid News, 2
Juni 2009.
http://infid-news.blogspot.co.id/2009/06/developmentalisme-dawam-rahardjo.html
http://infid-news.blogspot.co.id/2009/06/developmentalisme-dawam-rahardjo.html
[12] Ishak Rafick. Catatan Hitam Lima Presiden Indonesia: Sebuah
Investigasi 1997-2007, Mafia Ekonomi, dan Jalan Baru Membangun Indonesia.
(Jakarta. Ufuk Publishing House. 2007). Hal. 91-92.
[13] “Ahok: Tahun Ini, Pemprov DKI Akan Gusur 325 Lokasi”, dimuat dalam
Kini.co.id, 28 Juni 2016.
http://nasional.kini.co.id/2016/06/28/15835/ahok-tahun-ini-pemprov-dki-akan-gusur-325-lokasi.
http://nasional.kini.co.id/2016/06/28/15835/ahok-tahun-ini-pemprov-dki-akan-gusur-325-lokasi.
[14] “Studi Kasus: Reklamasi Pantai Utara Jakarta”, dimuat dalam Radar
Planologi, April 2016.
http://www.radarplanologi.com/2016/04/studi-kasus-reklamasi-pantai-utara-jakarta.html
http://www.radarplanologi.com/2016/04/studi-kasus-reklamasi-pantai-utara-jakarta.html
[15] “Ditolak Nelayan, Reklamasi Teluk Jakarta Jalan Terus”, dimuat
dalam BBC Indonesia, 14 September 2016.
http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2016/09/160913_indonesia_reklamasi_jakarta_jalanterus
http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2016/09/160913_indonesia_reklamasi_jakarta_jalanterus
Sumber-sumber
Lenin, Vladimir. 1974. Collected
Works Volume 25. Moscow: Progress Publisher.
Engels, Friederick. ____. Origin
of The Family, Private Property, and The State. London: Alick West
Published.
Rafick, Ishak. 2008. Catatan
Hitam Lima Presiden Indonesia: Sebuah Investigasi 1997-2007, Mafia Ekonomi, dan
Jalan Baru Membangun Indonesia. Jakarta: Ufuk Publishing House.
Tan, Jo Hann dan Roem Topatimasang.
2004. Mengorganisir Rakyat: Refleksi Pengalaman Pengorganisasian di Asia
Tenggara. Jakarta: SEAPCP & Insist Press.
Saokani, Kukuh. 2016. 17 KK Korban Penggusuran
Stasiun Bandung Tinggal di Bedeng. Dimuat dalam Liputan 6.
http://regional.liputan6.com/read/2579357/17-kk-korban-penggusuran-stasiun-bandung-tinggal-di-bedeng
Diakses
20 November 2016.
Istiqomah, Zuli. 2016. KAI Bongkar Bangunan
Ilegal di Stasiun Bandung. Dimuat dalam Republika.
Diakses 20 November 2016.
Lumbanrau, Raja Eben, 2016. Detik-detik Ribuan
Aparat ‘Serbu’ Petani Majalengka. Dimuat dalam CNN Indonesia.
Diakses
20 November 2016.
Pratiwi, Gita. 2016. Ribuan Warga Sukamulya
Duduki Lahan Tolak Pengukuran BIJB. Dimuat dalam Pikiran Rakyat.
Diakses
21 November 2016.
Affan, Heyder. 2016. Ditolak Nelayan, Reklamasi
Teluk Jakarta ‘Jalan Terus’. Dimuat dalam BBC Indonesia.
Diakses
21 November 2016.
____. 2016. Walhi Sebut Pembangunan Infrastruktur
Era Jokowi Mirip Soeharto. Dimuat dalam Harian Kompas.
Diakses
21 November 2016.
Rakisa. 2016. Ahok: Tahun Ini, Pemprov DKI Akan
Gusur 325 Lokasi. Dimuat dalam Kini.co.id.
Diakses
21 November 2016.
____. 2016. Alamasan Reklamasi Merusak Lingkungan
Tak Berdasar. Dimuat dalam Berita Satu.
Diakses
21 November 2016.
____. ____. Warga Sukamulya Menolak Pembangunan
BIJB. Dimuat dalam situs Konsorsium Pembaruan Agraria.
Diakses
21 November 2016.
____. 2016. Studi Kasus:Reklamasi Pantai Utara
Jakarta. Dimuat dalam Radar Planologi.
Diakses
21 November 2016.
Raharjo, Dawam. 2009. Developmentalisme.
Dimuat dalam Infid News dan Harian Tempo.
Diakses 21 November 2016
Diakses
21 November 2016
-RoinAkbarSanAlvianHarianja-
LuckyClub Casino Site 2021
ReplyDeleteThe Lucky Club Casino site is one of the most innovative and unique casino games in existence. It is a modern and high-quality casino that is All reviews · Casino · Online luckyclub Since: 2017